Selasa, 24 Juli 2012

Dusta Manis Ibu


“biarkan aku sendiri bu”, budi menghadapkan wajahnya ke tembok, tidak ingin menatap wajah ibunya. “ ini yang selama ini mengalir di darahku, inikah yang selama ini menghidupi kami ? sangat hina bu, sangat hina !”. ibu menahan tangisnya sambil menundukan kepala. “ maafkan ibu nak, ibu terpaksa melakukan ini demi kalian ”. “tapi apakah tidak ada pekerjaan lain ? bukankah ibu yang mengajarkan kepada kami untuk menjauhi hal-hal semacam ini ?”. hening.

“besok aku akan menyusul ayah ke jakarta”. budi memecah kesunyian. “tetapi anakku, kita tidak tahu di mana ayah sekarang, masih hidup atau tidak kita tidak tahu. bagaimana kamu dapat menemukannya di ibu kota seluas jakarta ?”, ibu mencoba mengurungkan niat budi. “ah, aku tidak peduli, labih baik sekalian aku mati di sana daripada harus makan dari uang haram.”
Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar